Bab I
PENDAHULUAN
Pada mulanya pendidikan dilakukan sendiri
oleh para orangtua dengan cara yang tidak sistematis, maka seiring dengan
tuntutan perkembangan zaman, pola pendidikan mengalami pergeseran. Pola
pendidikan mulai disistematisasikan, dalam bentuk magang atau nyantrik. Pada
saat itu, paradigma pendidikan mulai mengalami pergeseran. Yang sebelumnya
berada di tangan orangtua, kini mulai diserahkan kepada orang lain yang
dianggap lebih memiliki kompetensi.
Karena bertambahnya jumlah penduduk dan
semakin beraneka-ragamnya macam pekerjaan, bentuk magang itu pun dirasa kurang
memadai. Maka, kemudian muncullah kelembagaan yang sekarang dikenal dengan nama
sekolah, yang salah satu karakteristiknya adalah dilakukan dengan sistem klassikal.
Jika disimak, misi pendidikan pada
masa-masa awal adalah mempersiapkan generasi muda untuk dapat hidup di
masyarakat sesuai dengan pengetahuan, nilai, tradisi, maupun budaya yang
berlaku saat itu. Hal ini mengandaikan bahwa pengetahuan, nilai, tradisi,
maupun budaya tersebut merupakan sesuatu yang relatif statis. Pendidikan
dianggap berhasil bilamana individu-individu memiliki seperangkat pengetahuan,
ketrampilan, nilai-nilai yang sesuai dengan yang berlaku di masyarakat.pada
masa itu. Dalam konteks demikian, pendidikan dipahami sebagai memberi bekal
wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang berguna bagi individu
untuk hidup di tengah masyarakat. Karakteristik dari pola ini, subjek didik
diasumsikan sebagai sesuatu yang pasif. Pendidik, yang diasumsikan sebagai “maha tahu” segala hal, mentransfer
pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya. Peserta didik ini “wajib” menerimanya tanpa punya daya
apa-apa.
Faham demikian sempat sangat dominan,
sehingga sisa-sisanya masih terasa hingga detik ini. Akibatnya, setiap
pembaharuan di bidang pendidikan hanya diartikan sebgai pembaharuan isi
kurikulum : dikurangi, diganti, diubah urutannya, atau ditambah. Dan fenomena
terakhir merupakan yang paling sering terjadi, sehingga peserta didik nyaris
tak kuasa lagi memikul beban yang terus menggunung tersebut. Perbaikan sistem
penyampaiannya pun baru sebatas pada upaya peningkatan tehnologi. Yang justru
sangat esensial nyaris tak terusik, yakni visi
dan ciri hakiki hubungan pendidik-terdidik yang dikehendaki di dalam proses
pendidikan. Akibatnya, meski barangkali out
put-nya laku di pasar kerja, namun pendidikan ini tidak mampu melaksanakan
fungsinya sebagai pusat pendidikan, yang salah satunya adalah mengembangkan
segenap potensi peserta didik.
Bab II
PERMASALAHAN
Untuk membatasi permasalahan dalam penulisan makalah ini, penulis hanya
ingin mengetengahkan dua hal dalam epistimologi pendidikan yaitu :
Pengertian Epistimologi secara singkat, dan Korelasi
epistimologi terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia
Bab III
PEMBAHASAN MASALAH
A.
Pengertian Epistimologi
Tatkala manusia baru lahir, ia tidak
mempunyai sedikit pun. Nanti, tatkala ia 40 tahunan, pengetahuanya banyak
sekali semetara kawanya yang seumur dengan dia munkin mempunyai pengetahuan yang
lebih banyak dari pada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana
mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu? Mengapa dapat juga berbeda
tingkat akurasinya? Hal-hal semacam ini dibicarakan di dalam
epistemologi.
Istilah epistemologi untuk pertama kalinya
muncul dan digunakan oleh J.F Ferier pada tahun 1854 (Runes, 1971:94).
Secara etimologis epistemologi berakar
kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu
pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan. Dari dua pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa epistemology adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa epistemology membicarakan dirinya sendiri,
membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Epistemology berhubungan dengan
apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Sedangkan
Qodri Azizy Epistemologi dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih lanjut Azizi
mengatakan epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme berarti
Knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of
knowing and the means by which we know. Dengan demikian epistemology atau teori
pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan
hakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta
reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Pembicaran tentang epistemologi akan
berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui.
Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang
pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemology tidak akan lepas dari berbagai
teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori
tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan
tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya
yang berbeda..
Ada dua teori tentang kebenaran dan
hakekat pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai
pandangan bahwa gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam
nyata (dari fakta atau hakikat). Artinya apa yang digambarkan akal adalah
sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia. Dengan pendapat tersebut
aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika sesuai
dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idealisme.
Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai
dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental/psikologis
yang bersifat subyektif.
B.
Korelasi Epistimologi
terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia
Pada dasarnya kurikulum adalah sebuah
elemen yang juga memiliki peran penting dalam output yang akan dihasilkan dunia
pendidikan nantinya. Namun, aplikasi yang benar dan perhatian yang serius akan
menjadi bahan kajian serta kritikan ketika konsep kurikulum ini justru tidak
seperti apa yang diharapkan. Terlebih menyimpang atau tidak sepenuhnya sesuai
kebutuhan peserta didik. Dalam membuat sebuah kurikulum, kita perlu
memperhatikan bagaimana kondisi peserta didik itu. Kemudian bagaimana kita
menyampaikannya ? Apa saja yang sesuai untuk bisa diberikan kepada siswa ?
Apakah sesuai ataukah tidak ? Semuanya itu perlu diberikan sebuah kajian
tersendiri.
Epistemologi diperlukan dalam pendidikan
antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum. Pengetahuan
apa yang harus diberikan pada anak didik, diajarkan di sekolah dan bagaimana
cara memperoleh pengetahuan dan cara menyempaikannya seperti apa ? Semua itu
adalah epistemologinya pendidikan. Lahirnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
adalah salah satu usaha baik dari pemerintah untuk memperbaiki kualitas
pendidikan di Indonesia. Baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotor. Di
mana pendidikan yang sebelumnya lebih mengarahkan siswa pada aspek kognitif
saja. Akan tetapi apa aplikasinya ? Munculnya KBK justru membuat kebingungan
tersendiri di kalangan para pengajar. Pada peserta didik sebagai subyek
pendidikan, mereka menjadi “korban” dari KBK ini. Kejenuhan, kebosanan, merasa
tidak ada waktu untuk bermain merupakan reson dari akibat peserta didik yang
merasakan kurikulum ini. Pada kenyataannya siswa juga tidak jauh berbeda dengan
penerapan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Aspek kognitif yang ditekankan.
Secara konseptual, KBK memang diakui bagus. Akan tetapi dalam tataran aplikasi ?
Masih sangat jauh sekali.
Salah
satu contohnya adalah, adanya Ujian Nasional. Ujian Nasional yang diadakan setiap tahunnya menuai kritik dari mereka yang
kontra dengan adanya Ujian Nasional. Pasalnya, setiap tahunnya nilai maksimal
standart kelulusan UN selalu mengalami kenaikan. Tahun 2007 nilai standart UN
dinaikkan menjadi 5.00. Berbagai respon yang dialami siswa beragam. Stress,
siswa pandai tidak lulus, membakar gedung sekolahan dsb sebagai upaya
menunjukkan ekspresi kekesalan pada diri mereka karena tidak lulus. Mereka yang
memiliki keahlian dalam sepak bola atau basket misalnya, dan mengalami
kesulitan dala perhitungan, bagaimana dia bisa lulus ? Jika kemampuan matematikanya
lemah? Di sisi lain prestasi anak terkait dengan basket atau sepak bola
membumbung tinggi. Begitu pula dalam tataran Perguruan Tinggi. Artikel yang
ditulis Achmad Sjafii dalam Surat Kabar Harian Kompas berjudul “Pengangguran
Intelek da Kurikulum PT” cukup membuka mata kita, bahwa ternyata kurikulum
(menurut Achmad) yag dibuat Perguruan Tinggi belum mencukupi kebutuhan yang
diingikan pasar. Kebanyakan lulusan Perguruan Tinggi lebih berpikiran global
daripada tataran teknis.
Melihat kondisi ini, dilihat dari sudut
epistemologi adalah seharusnya pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak
didik?. Hal ini tentu terkait dengan pengetahuan kita akan kebutuhan yang
diperlukan anak didik. Harus mengetahui dan memahami berbagai kemampuan atau
kelebihan atau kecerdasan yang dimiliki anak. tidak bisa semua siswa
diberlakukan sama. Sebagai contoh perlakuan antara siswa yang memiliki
kemampuan intelektualitas tinggi dengan yang standart. Bagi mereka siswa yang
memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata justru akan memilih keluar
atau tidur daripada mendengarkan guru mengajar karena merasa bosan, ketika guru
memberikan materi yang sebenarnya levelnya disampaikan kepada mereka yang
memiliki intelektualitas rata-rata. Mereka harus difasilitasi dengan sesuatu
yang lebih. Adanya kelas akselerasi yang notebenennya usaha untuk memfasilitasi
anak-anak yag seperti ini teryata menuai pro kontra tersendiri pada beberapa
kalangan. Adanya aspek kesenjangan sosial dan adanya pembedaan-pembedaan
menyebabkan kontranya sistem ini.
Siswa yang memiliki kelebihan dalam hal
musik atau olahraga dan memiliki kemampuan yang minim dalam hal matematika
misalnya, tentu dia akan merasa kesulitan atau bahkan tersiksa dengan adanya
pelajaran ini. Kondisi ini sungguh memprihatinkan pada banyak kalangan.
Pasalnya salah satu syarat kelulusan siswa untuk Ujian Nasional (UN) ternyata
matematika termasuk ke dalam mata pelajaran yang diujikan. Yang perlu
dipertanyakan adalah apakah kemudian siswa yang memiliki kelebihan seperti itu
padahal memiliki kelebihan dalam hal musik atau olahraga termasuk siswa yang
bodoh? Bagaimana bentuk penghargaan atas prestasi yang mereka raih? Sejauh ini
dari pemeritah terkait dengan Ujian Nasional ini bisa dibilang mereka mash
bersikukuh untuk mempertahankan ini.
Dunia pendidikan saat ini tengah
“digenggam” oleh penguasa kapitalisme. Dunia pendidikan menjadi sebuah ladang
bisnis yang cukup menggiurkan. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan
bantuan-bantuan yang lain belum terlalu cukup untuk melakukan pengembangan dan
perubahan dalam pendidikan. Daya kreativitas guru tentu juga sangat berpengaruh
dalam hal ini. Pengembangan aspek kognitif tentu tidak cukup untuk
mengembangakan potensi siswa secara keseluruhan.
Bagaimana
cara memperoleh pengetahuan? Pada dunia pendidikan cara memperoleh pengetahuan
yang sesuai dengan kebutuhan justru pada sekolah-sekolah swasta yang pada
dasarnya tidak ingin tergantung pada kapitalisme semata. Mereka mendidik anak-anak dengan
mengembangkanpotensi yang ada dengan harapan anak-anak bisa berkembangan secara
maksimal. Cara tradisional, guru dianggap sebagai pusat segala-galanya. Guru
yang paling pandai dan gudang ilmu. Siswa adalah penerima. Cara model sekarang,
banyak diantaranya mengembangkan metode active learning untuk memacu
kreativitas dan daya inisiatif siswa. Guru hanya sebagai fasiltator saja. Guru
mengarahkan siswa. Siswa dapat memperolehnya melalui diskusi, problem based
learning (PBL), pergi ke perpustakaan, belajar dengan e-learning (internet),
membaca dan sebagainya. Cara-cara seperti ini akan memacu potensi siswa
daripada siswa diperlakukan hanya sebagai objek yag pasif saja.
Bab IV
KESIMPULAN
Pada mulanya pendidikan dilakukan sendiri
oleh para orangtua dengan cara yang tidak sistematis. Karena bertambahnya
jumlah penduduk dan semakin beraneka-ragamnya macam pekerjaan, bentuk magang
itu pun dirasa kurang memadai. Maka, kemudian muncullah kelembagaan yang
sekarang dikenal dengan nama sekolah, yang salah satu karakteristiknya adalah
dilakukan dengan sistem klassikal.
Istilah epistemologi untuk pertama kalinya
muncul dan digunakan oleh J.F Ferier pada tahun 1854 (Runes, 1971:94).
Secara etimologis epistemologi berakar
kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu
pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan. Dari dua pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa epistemology adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan
Ada dua teori tentang kebenaran dan
hakekat pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai
pandangan bahwa gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam
nyata (dari fakta atau hakikat). Artinya apa yang digambarkan akal adalah
sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia. Dengan pendapat tersebut
aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika sesuai
dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idealisme.
Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai
dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental/psikologis
yang bersifat subyektif.
Epistemologi diperlukan dalam
pendidikan antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum.
Pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak didik, diajarkan di sekolah dan
bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara menyempaikannya seperti apa ?
Semua itu adalah epistemologinya pendidikan
DAFTAR PUSTAKA
Suria. S Jujun, Filsafat
Ilmu. Pustaka sinar Harapan. Jakarta
2002
Hadi. Hardono,
Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Kanisius. Yogyakarta 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar