Selasa, 28 Agustus 2012

Epistimologi Pendidikan (korelasi terhadap kurikulum Pendidikan)


Bab I
PENDAHULUAN

Pada mulanya pendidikan dilakukan sendiri oleh para orangtua dengan cara yang tidak sistematis, maka seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, pola pendidikan mengalami pergeseran. Pola pendidikan mulai disistematisasikan, dalam bentuk magang atau nyantrik. Pada saat itu, paradigma pendidikan mulai mengalami pergeseran. Yang sebelumnya berada di tangan orangtua, kini mulai diserahkan kepada orang lain yang dianggap lebih memiliki kompetensi.
Karena bertambahnya jumlah penduduk dan semakin beraneka-ragamnya macam pekerjaan, bentuk magang itu pun dirasa kurang memadai. Maka, kemudian muncullah kelembagaan yang sekarang dikenal dengan nama sekolah, yang salah satu karakteristiknya adalah dilakukan dengan sistem klassikal.
Jika disimak, misi pendidikan pada masa-masa awal adalah mempersiapkan generasi muda untuk dapat hidup di masyarakat sesuai dengan pengetahuan, nilai, tradisi, maupun budaya yang berlaku saat itu. Hal ini mengandaikan bahwa pengetahuan, nilai, tradisi, maupun budaya tersebut merupakan sesuatu yang relatif statis. Pendidikan dianggap berhasil bilamana individu-individu memiliki seperangkat pengetahuan, ketrampilan, nilai-nilai yang sesuai dengan yang berlaku di masyarakat.pada masa itu. Dalam konteks demikian, pendidikan dipahami sebagai memberi bekal wawasan, pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai yang berguna bagi individu untuk hidup di tengah masyarakat. Karakteristik dari pola ini, subjek didik diasumsikan sebagai sesuatu yang pasif. Pendidik, yang diasumsikan sebagai “maha tahu” segala hal, mentransfer pengetahuannya tersebut kepada peserta didiknya. Peserta didik ini “wajib” menerimanya tanpa punya daya apa-apa.
Faham demikian sempat sangat dominan, sehingga sisa-sisanya masih terasa hingga detik ini. Akibatnya, setiap pembaharuan di bidang pendidikan hanya diartikan sebgai pembaharuan isi kurikulum : dikurangi, diganti, diubah urutannya, atau ditambah. Dan fenomena terakhir merupakan yang paling sering terjadi, sehingga peserta didik nyaris tak kuasa lagi memikul beban yang terus menggunung tersebut. Perbaikan sistem penyampaiannya pun baru sebatas pada upaya peningkatan tehnologi. Yang justru sangat esensial nyaris tak terusik, yakni visi dan ciri hakiki hubungan pendidik-terdidik yang dikehendaki di dalam proses pendidikan. Akibatnya, meski barangkali out put-nya laku di pasar kerja, namun pendidikan ini tidak mampu melaksanakan fungsinya sebagai pusat pendidikan, yang salah satunya adalah mengembangkan segenap potensi peserta didik.

Bab II
PERMASALAHAN

Untuk membatasi permasalahan dalam penulisan makalah ini, penulis hanya ingin mengetengahkan dua hal dalam epistimologi pendidikan yaitu :
Pengertian Epistimologi secara singkat, dan Korelasi epistimologi terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia

Bab III
PEMBAHASAN MASALAH

A.    Pengertian Epistimologi
Tatkala manusia baru lahir, ia tidak mempunyai sedikit pun. Nanti, tatkala ia 40 tahunan, pengetahuanya banyak sekali semetara kawanya yang seumur dengan dia munkin mempunyai pengetahuan yang lebih banyak dari pada dia dalam bidang yang sama atau berbeda. Bagaimana mereka itu masing-masing mendapat pengetahuan itu? Mengapa dapat juga berbeda tingkat akurasinya? Hal-hal semacam ini dibicarakan di dalam epistemologi.
Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferier pada tahun 1854 (Runes, 1971:94).
Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan. Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemology adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa epistemology membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Epistemology berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Sedangkan Qodri Azizy Epistemologi dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih lanjut Azizi mengatakan epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme berarti Knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing and the means by which we know. Dengan demikian epistemology atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Pembicaran tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemology tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda..
Ada dua teori tentang kebenaran dan hakekat pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai pandangan bahwa gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat). Artinya apa yang digambarkan akal adalah sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia. Dengan pendapat tersebut aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika sesuai dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idealisme. Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif.


B.     Korelasi Epistimologi terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia
Pada dasarnya kurikulum adalah sebuah elemen yang juga memiliki peran penting dalam output yang akan dihasilkan dunia pendidikan nantinya. Namun, aplikasi yang benar dan perhatian yang serius akan menjadi bahan kajian serta kritikan ketika konsep kurikulum ini justru tidak seperti apa yang diharapkan. Terlebih menyimpang atau tidak sepenuhnya sesuai kebutuhan peserta didik. Dalam membuat sebuah kurikulum, kita perlu memperhatikan bagaimana kondisi peserta didik itu. Kemudian bagaimana kita menyampaikannya ? Apa saja yang sesuai untuk bisa diberikan kepada siswa ? Apakah sesuai ataukah tidak ? Semuanya itu perlu diberikan sebuah kajian tersendiri.
Epistemologi diperlukan dalam pendidikan antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak didik, diajarkan di sekolah dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara menyempaikannya seperti apa ? Semua itu adalah epistemologinya pendidikan. Lahirnya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) adalah salah satu usaha baik dari pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia. Baik dari segi kognitif, afektif, dan psikomotor. Di mana pendidikan yang sebelumnya lebih mengarahkan siswa pada aspek kognitif saja. Akan tetapi apa aplikasinya ? Munculnya KBK justru membuat kebingungan tersendiri di kalangan para pengajar. Pada peserta didik sebagai subyek pendidikan, mereka menjadi “korban” dari KBK ini. Kejenuhan, kebosanan, merasa tidak ada waktu untuk bermain merupakan reson dari akibat peserta didik yang merasakan kurikulum ini. Pada kenyataannya siswa juga tidak jauh berbeda dengan penerapan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Aspek kognitif yang ditekankan. Secara konseptual, KBK memang diakui bagus. Akan tetapi dalam tataran aplikasi ? Masih sangat jauh sekali.
Salah satu contohnya adalah, adanya Ujian Nasional. Ujian Nasional yang diadakan setiap tahunnya menuai kritik dari mereka yang kontra dengan adanya Ujian Nasional. Pasalnya, setiap tahunnya nilai maksimal standart kelulusan UN selalu mengalami kenaikan. Tahun 2007 nilai standart UN dinaikkan menjadi 5.00. Berbagai respon yang dialami siswa beragam. Stress, siswa pandai tidak lulus, membakar gedung sekolahan dsb sebagai upaya menunjukkan ekspresi kekesalan pada diri mereka karena tidak lulus. Mereka yang memiliki keahlian dalam sepak bola atau basket misalnya, dan mengalami kesulitan dala perhitungan, bagaimana dia bisa lulus ? Jika kemampuan matematikanya lemah? Di sisi lain prestasi anak terkait dengan basket atau sepak bola membumbung tinggi. Begitu pula dalam tataran Perguruan Tinggi. Artikel yang ditulis Achmad Sjafii dalam Surat Kabar Harian Kompas berjudul “Pengangguran Intelek da Kurikulum PT” cukup membuka mata kita, bahwa ternyata kurikulum (menurut Achmad) yag dibuat Perguruan Tinggi belum mencukupi kebutuhan yang diingikan pasar. Kebanyakan lulusan Perguruan Tinggi lebih berpikiran global daripada tataran teknis.
Melihat kondisi ini, dilihat dari sudut epistemologi adalah seharusnya pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak didik?. Hal ini tentu terkait dengan pengetahuan kita akan kebutuhan yang diperlukan anak didik. Harus mengetahui dan memahami berbagai kemampuan atau kelebihan atau kecerdasan yang dimiliki anak. tidak bisa semua siswa diberlakukan sama. Sebagai contoh perlakuan antara siswa yang memiliki kemampuan intelektualitas tinggi dengan yang standart. Bagi mereka siswa yang memiliki kemampuan intelektual di atas rata-rata justru akan memilih keluar atau tidur daripada mendengarkan guru mengajar karena merasa bosan, ketika guru memberikan materi yang sebenarnya levelnya disampaikan kepada mereka yang memiliki intelektualitas rata-rata. Mereka harus difasilitasi dengan sesuatu yang lebih. Adanya kelas akselerasi yang notebenennya usaha untuk memfasilitasi anak-anak yag seperti ini teryata menuai pro kontra tersendiri pada beberapa kalangan. Adanya aspek kesenjangan sosial dan adanya pembedaan-pembedaan menyebabkan kontranya sistem ini.
Siswa yang memiliki kelebihan dalam hal musik atau olahraga dan memiliki kemampuan yang minim dalam hal matematika misalnya, tentu dia akan merasa kesulitan atau bahkan tersiksa dengan adanya pelajaran ini. Kondisi ini sungguh memprihatinkan pada banyak kalangan. Pasalnya salah satu syarat kelulusan siswa untuk Ujian Nasional (UN) ternyata matematika termasuk ke dalam mata pelajaran yang diujikan. Yang perlu dipertanyakan adalah apakah kemudian siswa yang memiliki kelebihan seperti itu padahal memiliki kelebihan dalam hal musik atau olahraga termasuk siswa yang bodoh? Bagaimana bentuk penghargaan atas prestasi yang mereka raih? Sejauh ini dari pemeritah terkait dengan Ujian Nasional ini bisa dibilang mereka mash bersikukuh untuk mempertahankan ini.
Dunia pendidikan saat ini tengah “digenggam” oleh penguasa kapitalisme. Dunia pendidikan menjadi sebuah ladang bisnis yang cukup menggiurkan. Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan bantuan-bantuan yang lain belum terlalu cukup untuk melakukan pengembangan dan perubahan dalam pendidikan. Daya kreativitas guru tentu juga sangat berpengaruh dalam hal ini. Pengembangan aspek kognitif tentu tidak cukup untuk mengembangakan potensi siswa secara keseluruhan.
Bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Pada dunia pendidikan cara memperoleh pengetahuan yang sesuai dengan kebutuhan justru pada sekolah-sekolah swasta yang pada dasarnya tidak ingin tergantung pada kapitalisme semata. Mereka mendidik anak-anak dengan mengembangkanpotensi yang ada dengan harapan anak-anak bisa berkembangan secara maksimal. Cara tradisional, guru dianggap sebagai pusat segala-galanya. Guru yang paling pandai dan gudang ilmu. Siswa adalah penerima. Cara model sekarang, banyak diantaranya mengembangkan metode active learning untuk memacu kreativitas dan daya inisiatif siswa. Guru hanya sebagai fasiltator saja. Guru mengarahkan siswa. Siswa dapat memperolehnya melalui diskusi, problem based learning (PBL), pergi ke perpustakaan, belajar dengan e-learning (internet), membaca dan sebagainya. Cara-cara seperti ini akan memacu potensi siswa daripada siswa diperlakukan hanya sebagai objek yag pasif saja.






Bab IV
KESIMPULAN

Pada mulanya pendidikan dilakukan sendiri oleh para orangtua dengan cara yang tidak sistematis. Karena bertambahnya jumlah penduduk dan semakin beraneka-ragamnya macam pekerjaan, bentuk magang itu pun dirasa kurang memadai. Maka, kemudian muncullah kelembagaan yang sekarang dikenal dengan nama sekolah, yang salah satu karakteristiknya adalah dilakukan dengan sistem klassikal.
Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferier pada tahun 1854 (Runes, 1971:94).
Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan. Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemology adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan
Ada dua teori tentang kebenaran dan hakekat pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai pandangan bahwa gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat). Artinya apa yang digambarkan akal adalah sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia. Dengan pendapat tersebut aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika sesuai dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idealisme. Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif.
Epistemologi diperlukan dalam pendidikan antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan dasar kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan pada anak didik, diajarkan di sekolah dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara menyempaikannya seperti apa ? Semua itu adalah epistemologinya pendidikan


DAFTAR PUSTAKA


Suria. S Jujun, Filsafat Ilmu. Pustaka sinar Harapan. Jakarta 2002

Hadi. Hardono, Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Kanisius. Yogyakarta 1994

Praja .S Juhaya, Aliran-aliran Filsaeat dan Etika. Kencana. Jakarta 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar